Minggu, 22 Juni 2014
Pencemaran Logam Berat di Teluk Buyat
PENCEMARAN LOGAM BERAT (HG) DI TELUK BUYAT MINAHASA SULAWESI UTARA OLEH PT. NEWMONT MINAHASA RAYA
Teluk Buyat, terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, adalah lokasi pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Sejak tahun 1996, perusahaan asal Denver, AS, tersebut membuang sebanyak 2.000 ton limbah tailing ke dasar perairan Teluk Buyat setiap harinya. Sejumlah ikan ditemui memiliki benjolan semacam tumor dan mengandung cairan kental berwarna hitam dan lendir berwarna kuning keemasan. Fenomena serupa ditemukan pula pada sejumlah penduduk Buyat, dimana mereka memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis, pergelangan, pantat dan kepala. Sejumlah laporan penelitian telah dikeluarkan oleh berbagai pihak sejak 1999 hingga 2004. Penelitian-penelitian ini dilakukan sebagai respon atas pengaduan masyarakat nelayan setempat yang menyaksikan sejumlah ikan mati mendadak, menghilangnya nener dan beberapa jenis ikan, serta keluhan kesehatan pada masyarakat. Dari laporan-laporan penelitian tersebut, ditemukan kesamaan pola penyebaran logam-logam berat seperti Arsen (As), Antimon (Sb), dan Merkuri (Hg) dan Mangan (Mn), dimana konsentrasi tertinggi logam berbahaya tersebut ditemukan di sekitar lokasi pembuangan tailing Newmont. Hal ini mengindikasikan bahwa pembuangan tailing Newmont di Teluk Buyat merupakan sumber pencemaran sejumlah logam berbahaya. Namun demikian, sejumlah Menteri, diantaranya Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, mengeluarkan pernyataan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar. Menteri Kesehatan Achmad Sujudi bahkan mengatakan seolah-olah penyakit yang diderita oleh masyarakat Teluk Buyat adalah penyakit kulit dan akibat kekurangan gizi. Perdebatan yang selama ini muncul terkait dengan dugaan penyakit Minamata seperti yang pernah terjadi di Jepang lebih dari tiga dekade yang lalu. Padahal penyakit Minamata itu adalah penyakit akibat kontaminasi merkuri, sedangkan di Teluk Buyat yang terjadi adalah kontaminasi sejumlah logam berat: arsen, merkuri, antimon, mangan, dan senyawa sianida. Jadi, yang harus diverifikasi atau diuji adalah keterkaitan antara keluhan-keluhan masyarakat atau penyakit mereka dengan gejala penyakit yang diakibatkan oleh sejumlah logam berat tersebut. “Kontaminasi Arsen pada tubuh menimbulkan gejala-gejala seperti dada panas, rasa mual, mudah lelah dan lupa, kolaps, dan kanker kulit. Yang tidak pernah dilihat adalah dampak dari logam-logam lain, seperti antimon, mangan, dan juga sianida. Sianida dan mangan bisa menyebabkan gangguan kulit, terutama mangan, seperti yang kita lihat di pertambangan di Kalimantan,” papar Raja Siregar pengkampanye di Eksekutif National WALHI.
Dari berbagai laporan penelitian, termasuk yang dilakukan WALHI, sejumlah konsentrasi logam berat (arsen, merkuri, antimon, mangan) dan senyawa sianida pada sedimen di Teluk Buyat sudah tinggi. Jika dibandingkan pada konsentrasi logam berat sebelum pembuangan tailing (data dari studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/AMDAL tahun 1994), konsentrasi arsen di daerah dekat mulut pipa tailing di Teluk Buyat meningkat hingga 5-70 kali lipat (data WALHI dan KLH 2004). Konsentrasi merkuri meningkat 10 kali lipat di sekitar pipa pembuangantailing.Jika dibandingkan dengan Teluk Totok (lokasi penambangan rakyat), konsentrasi arsen dan antimon jauh lebih tinggi di sekitar pembuangan tailing PT NMR (data Walhi dan KLH 2004). Untuk merkuri, konsentrasi di Teluk Buyat dan Teluk Totok hampir sama. Namun, pada data penelitian KLH 2004, konsentrasi merkuri di lokasi pembuangan tailing Newmont lebih besar dibandingkan dengan di Teluk Totok. Pola Penyebaran Logam Berbahaya Arsen, Antimon dan Merkuri (As, Sb, dan Hg) (laporan penelitian terbaru Pusarpedal-KLH (2004) dan Evan Edinger- Memorial University of Newfoundland (2004)) Logam Indikator Laporan Penelitian Evan Edinger, dkk (2004) Laporan Penelitian
Pusarpedal-KLH (2004):
Arsen (As) Konsentrasi As pada sedimen yang tertinggi (663, 74 ppm) ditemukan tepat di ujung pipa pembuangan di Teluk Buyat. Konsentrasi As menurun seiring pertambahan jarak dari ujung pipa. Konsentrasi As pada sedimen Teluk Buyat rata-rata lebih besar dibandingkan di Teluk Totok (lokasi tambang rakyat). Konsentrasi As tertinggi di depan mulut Sungai Totok hanya sebesar 65,92 ppm. Konsentrasi As pada sedimen yang tertinggi (1.831 ppm) ditemukan pada stasiun C dekat ujung pipa dan E di Teluk Buyat (1.790 ppm). Konsentrasi As pada sedimen Teluk Buyat rata-rata lebih tinggi dibandingkan di Teluk Totok (lokasi tambang rakyat).
Antimon (Sb) Konsentrasi logam Sb di sedimen memiliki pola penyebaran yang sama dengan As. Konsentrasi Sb pada sedimen yang tertinggi ditemukan tepat di ujung pipa pembuangan di Teluk Buyat sebesar 583,13 ppm atau 100 kali lipat dibanding konsentrasi Sb tertinggi di Sungai Totok (5,37 ppm). Konsentrasi Sb menurun seiring pertambahan jarak dari ujung pipa. Konsentrasi logam Sb di sedimen memiliki pola penyebaran yang sama dengan As. Konsentrasi Sb pada sedimen yang tertinggi ditemukan stasiun BB-6 (kurang lebih 1 km depan pipa tailing) sebesar 88,967ppm dan pada stasiun C (dekat ujung pipa) sebesar 66,089 ppm) dekat pipa tailing.
Merkuri (Hg) Puncak konsentrasi Hg pada sedimen yang tertinggi ditemukan pada 2 lokasi; yakni di mulut Sungai Totok (10,60 ppm) dan pada stasiun di ujung pipa tailing di Buyat (5,80 ppm). Puncak konsentrasi Hg pada sedimen yang tertinggi ditemukan di stasiun D dekat pipa tailing (sebesar 3,509 ppm) dan pada stasiun BB5 (+/- 1 km depan pipa tailing) sebesar 2,642 ppm dan depan mulut sungai Totok (2,605 ppm). Penyebaran Hg di air juga memiliki pola yang sama. Konsentrasi Hg pada perairan Teluk Buyat jauh lebih tinggi dibandingkan di Teluk Totok. Dari pola penyebaran tersebut diatas, logam As, dan Sb merupakan indikator logam yang konsisten (metal tracers) untuk menunjukkan pencemaran oleh tailing Newmont. Rona awal kondisi sedimen terukur untuk arsen (rata-rata 14 ppm), merkuri sangat bervariasi antar lokasi dengan nilai rata-rata sebesar 0,16 ppm, dan Antimon rata-rata sebesar 0,9 ppm (data AMDAL PT.NMR 1994).
Proses pencemaran air laut oleh logam berat. Air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan, di mana buangan limbah dari daratan akan bermuara ke laut. Selain itu air laut juga sebagai tempat penerimaan polutan (bahan cemar) yang jatuh dari atmosfir. Limbah tersebut yang mengandung polutan kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut (termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-cumi, kerang, rumput laut dan lain-lain). Kemudian, polutan tersebut yang masuk ke air diserap langsung oleh fitoplankton. Fitoplankton adalah produsen dan sebagai tropik level pertama dalam rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi polutan dalam tubuh zooplankton lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton karena zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton dan zooplankton dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton) sebagai tropik level kedua. Ikan planktivores dimangsa oleh ikan karnivores (pemakan ikan atau hewan) sebagai tropik level ketiga, selanjutnya dimangsa oleh ikan predator sebagai tropik level tertinggi. Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi polutan dalam tubuhnya paling tinggi di antara seluruh organisme laut. Kerang juga mengandung logam berat yang tinggi karena cara makannya dengan menyaring air masuk ke dalam insangnya setiap saat dan fitoplankton ikut tertelan. Polutan ikut masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-menerus dan bahkan bisa melebihi konsentrasi yang di air. Polutan tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila polutan ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Karena kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan. Makanan yang berasal dari daerah tercemar kemungkinan besar juga tercemar. Demikian juga makanan laut (seafood) yang berasal dari pantai dan laut yang tercemar juga mengandung bahan polutan yang tinggi. Salah satu polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah logam berat. WHO (World Health Organization) atau Organisasi Kesehatan Dunia dan FAO (Food Agriculture Organization) atau Organisasi Pangan Dunia merekomendasikan untuk tidak mengonsumsi makanan laut (seafood) yang tercemar logam berat. Logam berat telah lama dikenal sebagai suatu elemen yang mempunyai daya racun yang sangat potensil dan memiliki kemampuan terakumulasi dalam organ tubuh manusia. Bahkan tidak sedikit juga yang dapat menyebabkan kematian.
Logam berat Air Raksa atau Mercury (Hg) adalah salah satu logam berat dalam bentuk cair. Terjadinya pencemaran mercury di perairan laut lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia dibanding faktor alam. Meskipun pencemaran mercury dapat terjadi secara alami tetapi kadarnya sangat kecil. Pencemaran mercury secara besar-besaran disebabkan karena limbah yang dibuang oleh manusia. Manusia telah menggunakan mercury oksida (HgO) dan mercury sulfida (HgS) sebagai zat pewarna dan bahan kosmetik sejak jaman dulu. Dewasa ini mercury telah digunakan secara meluas dalam produk elektronik, industri pembuatan cat, pembuatan gigi palsu, peleburan emas, sebagai katalisator, dan lain-lain. Penggunaan mercury sebagai elektroda dalam pembuatan soda api dalam industri makanan seperti minyak goreng, produk susu, kertas tima, pembungkus makanan juga terkadang dapat mencemari makanan tersebut.
Pencemaran logam mercury (Hg) mulai mendapat perhatian sejak munculnya kasus minamata di Jepang pada tahun 1953. Pada saat itu banyak orang mengalami penyakit yang mematikan akibat mengonsumsi ikan, kerang, udang dan makanan laut lainnya yang mengandung mercury. Kasus minamata yang terjadi dari tahun 1953 sampai 1975 telah menyebabkan ribuan orang meninggal dunia akibat pencemaran mercury di Teluk Minamata Jepang. Industri Kimia Chisso menggunakan mercury khlorida (HgCl2) sebagai katalisator dalam memproduksi acetaldehyde sintesis di mana setiap memproduksi satu ton acetaldehyde menghasilkan limbah antara 30-100 gr mercury dalam bentuk methyl mercury (CH3Hg) yang dibuang ke laut Teluk Minamata. Methyl mercury ini masuk ke dalam tubuh organisme laut baik secara langsung dari air maupun mengikuti rantai makanan. Kemudian mencapai konsentrasi yang tinggi pada daging kerang-kerangan, crustacea dan ikan yang merupakan konsumsi sehari-hari bagi masyarakat Minamata. Konsentrasi atau kandungan mercury dalam rambut beberapa pasien di rumah sakit Minamata mencapai lebih 500 ppm. Masyarakat Minamata yang mengonsumsi makanan laut yang tercemar tersebut dalam jumlah banyak telah terserang penyakit syaraf, lumpuh, kehilangan indera perasa dan bahkan banyak yang meninggal dunia.
Upaya penanganan pencemaran logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan proses kimiawi. Seperti penambahan senyawa kimia tertentu untuk proses pemisahan ion logam berat atau dengan resin penukar ion (exchange resins), serta beberapa metode lainnya seperti penyerapan menggunakan karbon aktif, electrodialysis dan reverse osmosis. Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan permasalahan baru, yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme akuatik (perairan). Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah Biologi dikenal dengan bioakumulasi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat keracunan elemen logam berat di lingkungan perairan tersebut. Metode atau teknologi ini sangat menarik untuk dikembangkan dan diterapkan, karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan proses kimiawi. Beberapa hasil studi melaporkan, penggunaan mikroorganisme untuk menangani pencemaran logam berat lebih efektif dibandingkan dengan ion exchange dan reverse osmosis dalam kaitannya dengan sensitivitas kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam berat lainnya. Serta, lebih baik dari proses pengendapan (presipitation) kalau dikaitkan dengan kemampuan menstimulasikan perubahan pH dan konsentrasi logam beratnya. Dengan kata lain, penanganan logam berat dengan mikroorganisme relatif mudah dilakukan, murah dan cenderung tidak berbahaya bagi lingkungan. Organisme Selular Sianobakteria merupakan organisme selular yang termasuk kelompok mikroalga atau ganggang mikro. Di alam, organisme ini tersebar luas baik di perairan tawar maupun lautan. Sampai saat ini diketahui sekitar 2.000 jenis sianobakteria tersebar di berbagai habitat. Berdasarkan penelitian terbaru, sianobakteria merupakan salah satu organisme yang diketahui mampu mengakumulasi (menyerap) logam berat tertentu seperti Hg, Cd dan Pb. Suhendrayatna (2001) dalam makalahnya, menjelaskan lebih rinci tentang proses penyerapan ion logam berat oleh sianobakteria dan mikroorganisme secara umum. Umumnya, penyerapan ion logam berat oleh sianobakteria dan mikroorganisme terdiri atas dua mekanisme yang melibatkan proses aktif uptake (biosorpsi) dan pasif uptake (bioakumulasi).
a. Proses aktif uptake
Proses ini juga dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan sianobakteria, dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat dapat juga diendapkan pada proses metabolisme dan ekresi sel pada tingkat kedua. Proses ini tergantung dari energi yang terkandung dan sensitivitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH, suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya dan lainnya. Namun demikian, proses ini dapat pula dihambat oleh suhu rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambat metabolisme sel. Peristiwa ini seperti ditunjukkan oleh akumulasi kadmium pada dinding sel Ankistrodesmus dan Chlorella vulgaris yang mencapai sekitar 80 derajat dari total akumulasinya di dalam sel, sedangkan arsenik yang berikatan dengan dinding sel Chlorella vulgaris rata-rata 26 persen. Suhendrayatna (2001) menambahkan, untuk mendesain suatu proses pengolahan limbah yang mengandung ion logam berat dengan melibatkan sianobakteria relatif mudah dilakukan. Proses pertama, sianobakteria pilihan dimasukkan, ditumbuhkan dan selanjutnya dikontakkan dengan air yang tercemar ion logam berat tersebut. Proses pengontakkan dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang ditujukan agar sianobakteria berinteraksi dengan ion logam berat, selanjutnya biomassa sianobakteria ini dipisahkan dari cairan. Proses terakhir, biomassa sianobakteria yang terikat dengan ion logam berat diregenerasi untuk digunakan kembali atau kemudian dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan sianobakteria untuk menanggulangi pencemaran logam berat merupakan hal yang sangat menarik dilakukan, baik oleh masyarakat, pemerintah maupun industri. Karena, sianobakteria merupakan organisme selular yang mudah dijumpai, mempunyai spektrum habitat sangat luas, dapat tumbuh dengan cepat dan tidak membutuhkan persyaratan tertentu untuk hidup, mudah dibudidayakan dalam sistem akuakultur.
b. Proses pasif uptake
Proses ini terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben. Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat. Sebagai contoh adalah pada Sargassum sp. dan Eklonia sp. di mana Cr(6) mengalami reaksi reduksi pada pH rendah menjadi Cr(3) dan Cr(3) di-remove melalui proses pertukaran kation.
Sumber :
http://masdony.wordpress.com/2009/04/19/logam-berat sebagai-penyumbang-pencemaran-air-laut/
Langganan:
Postingan (Atom)