TINGKAT
PENDIDIKAN DI INDONESIA
A.
Masalah Mendasar
Pendidikan di Indonesia
Bagi
orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan
karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia,
tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu.
Seringkalipendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah
pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karenapendidikan yang diberikan
ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak
seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang
antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa
(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya. Hal yang sering
disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan
instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering
digembar-gemborkan sebagai “pendidikanyang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti,
lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai
penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar.
Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah
kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini
sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan
kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak
membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa
dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka
yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Ketiga,
dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman
dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang
adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang
dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya
(seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana
kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh
karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah
kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural
untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan
masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi,
budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini,
makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan
untuk direnungkan.
B.
Kualitas Pendidikan di
Indonesia
- Faktor internal, meliputi
jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen
Pendidikan Nasional , Dinas Pendidikan daerah,
dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini,interfensi dari
pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan
agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah
masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan sebuah ikon dari
pendidikan itu dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu
sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan
kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor
tersebut yaitu :
1.
Rendahnya Kualitas Sarana
Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
2.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati
secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas
mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di
Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah
masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia
relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa,
angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12.
Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung
kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah
guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam
banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang,
sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis,
baik menyangkutpendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan
pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang
tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal
itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun
mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan
disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari
separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50
persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan
mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu,
diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya
tingkat kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya Kesejahteraan
Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang
saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi
di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie
rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan
dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga
berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di
lingkungan pendidikanswasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai
taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari
403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan
dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4.
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam
hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain
itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut
majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4
universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68,
ke-73 dan ke-75.
5.
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang Departemen PendidikanNasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber
daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya Relevansi
Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996)
yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%,
14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya
sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup
sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian
antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan
ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu
itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk
masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS
selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadappermasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi
ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya statuspendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa
contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biayapendidikan di beberapa Perguruan Tinggi
favorit.
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas
dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar sepertipendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas,
10/5/2005).
Dari
APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untukpendidikan. Bandingkan dengan dana
untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang SistemPendidikan Nasional, RUU Badan
Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang PendidikanDasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam
Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice
(ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk
menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal
senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak
akan menjadi badan hukumpendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
Bagi
masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya
bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya
berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas
memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.
Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya
yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak
dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
C.
Solusi Pendidikan di
Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya
kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis
besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi
yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka
dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikandi Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan
bermartabat.
Penduduk di negara sedang berkembang
padaumumnya bekerja secara serabutan dan kebanyakan mereka mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh bangunan buruh industri, dan
sebagainya. Hal ini terutama terjadi untuk penduduk yang tinggal dipedesaan
yang pada umumnya tingkat pendidikannya rendah, skill rendah dan ditandai dengan tingkat penghasilan yang rendah
pula. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk juga mendorong semakin banyak
jumlah tenaga yang menganggur. Pemerintah padahal ingin menyerap tenaga kerja yang menganggur ini dimana
seringkali pemerintah mengalami suatu kendala yaitu kurangnya dana
atau minimnya tingkat investasi yang ada.
Tabel Tingkat
Pencapaian Pendidikan di Indonesia
2007-2009
Data
tersebut dapat dilihat
bahwa, jumlah pengangguran yang paling besar pada tahun 2007 dan 2008 adalah
lulusan sekolah menengah umum dan kejuruan yaitu sebesar 4.070.553 orang dan
3.812.522 orang, namun pada tahun 2009 menurun menjadi 1.337.586 orang. Jauh
separuh di bawahnya, namun masih merupakan jumlah yang besar, adalah jumlah
penganggur yang selesai pendidikan SD, yaitu 2.054.682 orang dan SLTP 2.133.627
orang pada tahun 2009. Pada tahun 2009 pengangguran tertinggi berada pada
tingkat pendidikan tidak tamat SD yaitu sebesar 2.620.049 orang. Jumlah
pengangguran lulusan perguruan tinggi tidak besar namun, dari persentase
terhadap total lulusannya, jumlah 486.399 orang (diploma I/II/III/Akademi) dan
626.621 orang (sarjana universitas) adalah tinggi. Bahwa
jelas ini merupakan suatu masalah yang cukup rumit dimana pemerintah dituntut untuk
melakukan suatu perbaikan menyeluruh pada kasus diatas.
Sumber :
(google gambar
pendidikan indonesia)
Menurut wahyu, tingkat pendidikan yang
sudah memadai maupun yang belum memadai khususnya di Indonesia setiap tahunnya pasti
mengalami grafik kenaikan pengangguran karena penduduk yang cukup banyak. Oleh karena
itu orang yang pendidikannya memadai atau tinggi butuh cara dimana pola berfikirnya
dia dimasa yang akan datang bukan untuk bekerja melainkan menciptakan lapangan kerja
bagi orang yang tingkat pendidikannya belum memadai atau rendah. Semoga itu menjadi
saling berhubungan nantinya antara tingkat pendidikan tinggi maupun tingkat pendidikan
rendah di masa yang akan datang buat negara tercinta Indonesia untuk menjadi negara
yang lebih maju terutama menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Menurut kristian, kita semua
mengetahui bahwa faktor paling dasar yang dapat menyebabkan tingkat pendidikan
di Indonesia masih rendah atau belum layak adalah fasilitas sekolah baik
sekloah dasar sampai sekolah menengah atas yang kurang memadai, kualitas tenaga
pengajar yang masih rendah, mahalnya biaya pendidikan, dan lain-lain. Peranan
pemerintah disini dalam mengatasi pendidikan di Indonesia sangatlah besar, hal
ini bisa dilihat semakin banyak anak-anak kecil yang seharusnya dapat
bersekolah tetapi tidak bisa bersekolah, karena mahalnya biaya pendidikan. Mengapa
saya dapat menyebutkan pendidikan di Indonesia masih belum baik atau belum
layak ? karena masih banyak sekolah yang belum memenuhi standar kualitas
kelayakan dan tenaga pengajar yang belum mempunyai sertifikasi pengajar. Di
Indonesia sendiri pemerintahan juga kurang
memperhatikan sekolah-sekolah dipelosok-pelosok negeri ini. Keadaan sekolah ini
sangat memprihatinkan. Dimana banyak anak-anak di Indonesia yang kurang mampu,
namun mempunyai semangat belajar yang tinggi. Lagi-lagi karena masalah ekonomi,
yang membuat pendidikan mereka terhambat, sehingga mereka sering terganggu
dalam proses belajar mengajarnya karena tempat yang tidak layak dan sangat
mengganggu. Seperti misalnya atap yang bocor saat hujan, atau bahkan banjir.
Bagaimana bisa pemerintah kita tidak menyadari keadaan pendidikan di Indonesia
yang sangat memprihatinkan ini, sedangkan sering kali siaran televisi
menyiarkan berita tentang pendidikan di pelosok negeri ini.
Uang dapat membutakan para petinggi negeri ini, sehingga dapat melupakan
pendidikan di Indonesia ini. Dan ada satu hal lagi, bahwa di Indonesia ini, ada
istilah “beli bangku sekolah”, “beli
nilai”, dan lain sebagainya. Karena banyak isitilah inilah dapat disimpulkan,
bahwa masih buruknya pendidikan di Indonesia ini, pemerintah harus bertindak
tegas terhadap sekolah-sekolah yang memperjual-belikan nilai dan bangku
sekolah, contoh siswa yang mempunyai prestasi tidak dapat masuk ke sekolah
favorit, tetapi siswa yang mempunyai uang lebih dapat bersekolah
di sekolah favorit. Bayangkan bagaimana kedepannya,
keadaan negara kita tanpa adanya pelajar-pelajar yang berkualitas, yang mempunyai
keahlian, yang dapat membawa perubahan di Indonesia. Bisakah pemerintah dan
kita sebagai warga Negara Indonesia membantu mengurangi jumlah anak-anak
jalanan yang kurang pendidikan? Indonesia
membutuhkan para pahlawan tanpa tanda jasa, para relawan-relawan yang memiliki
hati nurani. Indonesia membutuhkan perubahan, berilah kesempatan kepada
masyarakat kecil. Buatlah mereka merasa merdeka tanpa adanya penindasan dari
masyarakat kalangan atas. Berilah kesempatan pendidikan kepada anak-anak Indonesia
yang kurang mampu. Pendidikan juga mengajari kita untuk saling membantu.
Pendidikan juga mengajari kita tentang kebaikan-kebaikan, tentang keagamaan,
tentang pahala dan dosa. Penuh makna dan penting dalam kehidupan kita, tentang “pendidikan”.
Jadi diharapkan pendidikan di Indonesia lebih diketatkan dan mengikuti
perkembangan dunia sehingga kita tidak ketinggalan dari negara lainnya.
Menurut Dwiki, pendidikan di negara
kita Indonesia ini masih sangat bobrok, pembagian wilayah yang tidak merata
yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Bandingkan saja sitem, pra sarana
pendidikan yang terdapat dikota Jakarata berbanding terbalik dengan sistem
pendidikan yang terdapat didaerah terpencil, seperti Papua. Jangankan di daerah
Papua masih bayak terdapat sekolah yang tidak layak pakai berada dikota
pemnyanggah Jakarta. Jika tidak cepat ditangani permasalahan ini akan terus
meluar seperti jamur di musim hujan.